BerandaFilsafatPenganut Pancasila itu 'Bangkai' berjalan, Tidak Memiliki Ruh dan Jiwa

Penganut Pancasila itu ‘Bangkai’ berjalan, Tidak Memiliki Ruh dan Jiwa

Mereka yang menyebut diri "Saya Pancasila" justru mereka yang kemudian terbukti menginjak-injak Pancasila. (foto: ist/palontaraq)
Mereka yang menyebut diri “Saya Pancasila” justru mereka yang kemudian terbukti menginjak-injak Pancasila. (foto: ist/palontaraq)

Oleh: Nasrudin Joha

Tulisan sebelumnya: Pancasila tak Berdaya menghadapi Kasus Jiwasraya

PALONTARAQ.ID – Salah satu kekuatan suatu norma untuk ditaati itu karena adanya kekuatan ‘ruh’ pada norma, adanya dorongan mentaati norma karena aspek transenden.

Karena adanya kesadaran hubungan manusia dengan Penciptanya yang membuat norma itu ditaati, baik dalam keadaan sepi maupun ramai, dalam keadaan sempit maupun lapang.

Islam memiliki ‘Ruh’ dan memiliki ‘jiwa’, sehingga norma Islam selalu ‘hidup’ dalam setiap sanubari pemeluknya.

Ruh Islam akan mengontrol perilaku pemeluknya, baik dalam keadaan sepi maupun ramai, baik dalam keadaan sempit maupun lapang. Islam mengajarkan kompensasi pahala dan dosa, Islam mengabarkan konsekuensi Surga dan neraka.

Misalnya saja, seorang yang beriman akan terikat dengan ‘Ruh’ Islam, dia akan mengerjakan sholat, baik sempit maupun lapang, baik saat sepi maupun dalam keramaian.

Kompensasi pahala bagi yang mengerjakan, dan dosa bagi yang meninggalkan telah membimbing pribadi yang beriman untuk konsisten melaksanakan sholat.

Lebih dari itu, orang beriman yakin bahwa sholat akan berkonsekuensi surga, dan neraka bagi orang yang meninggalkannya.

Itulah norma Islam, yang memiliki Ruh dan membimbing pemeluknya untuk taat, baik dalam keadaan sempit maupun lapang.

Islam memiliki jiwa yang membuat pemeluknya tetap hidup, waspada, karena kehidupan sejati bagi Umat Islam adalah kampung akherat, surga yang luasnya seluas langit dan bumi.

Berbeda dengan Islam, Pancasila tidak memiliki Ruh, penganut Pancasila adalah ‘bangkai’ yang berjalan. Karena itu, Pancasila hanya hidup disaat ramai dan dalam kondisi lapang. Pancasila akan mati saat kondisi sempit atau dalam keadaan sepi.

Pancasila tak mampu membimbing penganutnya untuk tetap taat, terikat pahala dan dosa apalagi berkonsekuensi surga atau neraka.

Orang yang mengamalkan Pancasila tidak dijanjikan pahala juga tidak mendapatkan surga. Orang yang meninggalkan Pancasila tidak diancam dosa juga tidak diancam masuk neraka.

Pancasila adalah norma kosong tanpa Ruh, hanya ramai menjadi pembicaraan BPIP, namun tak memiliki kekuatan mengikat bagi penganutnya, hingga sekalipun Penganut Pancasila itu mengaku paling Pancasilais.

Jongos Penjajah. (foto: ist/palontaraq)
Pejuang, Jongos, dan Pengkhianat. (foto: ist/palontaraq)

Orang yang mengaku Pancasilais tidak akan segan untuk korupsi asal tidak ketahuan KPK, karena Pancasila tidak mengancam neraka bagi yang korupsi juga tidak menjanjikan surga bagi yang tak korupsi.

Lihat saja kader PDIP, itu semua pasti kader Pancasila. Tapi mereka toh korupsi, bahkan juara Wahid. Termasuk Novanto, Idrus Marham, Rohmahurmuzy, Imam Nahrawi, mereka penganut Pancasila dan saat korupsi pasti tidak takut pada Pancasila.

Itulah kelemahan Pancasila, tak memiliki kekuatan mengikat bagi amal para penganutnya kecuali karena kontrol dunia. Pancasila tak memiliki kontrol Ruh, kontrol kesadaran hubungan manusia dengan Allah SWT, kontrol pahala dan dosa, kontrol surga dan neraka.

Pada masa pemerintahan Rasulullah SAW di Madinah yang menerapkan Islam secara kaffah, terjadi dua kasus zina yakni Maiz dan Ghamidiyah.

Dua kasus ini diadili bukan karena Operasi Tangkap Tangan (OTT), bukan karena ada bukti atau kesaksian, tetapi karena pengakuan.

Bayangkan, apakah Maiz dan Ghamidiyah mengaku karena Pancasila? Pasti bukan. Mereka mengaku Zina karena ada ‘Ruh’ Islam, karena sadar jika mereka tidak disanksi didunia, dibersihkan di dunia, mereka akan kekal didalam api neraka.

Bahkan Maiz ketika mengaku zina, wanita yang berzina dengannya ingkar. Tetapi Maiz tetap minta dirajam, kemudian Maiz dirajam. Lalu Rasulullah SAW bersabda, bahwa Maiz telah berada di surga.

Jadi Islam itu memiliki Ruh, melalui konsep pahala dan dosa, surga dan neraka, yang akan membimbing pemeluknya untuk taat, baik diketahui orang maupun dalam kesunyian. Bayangkan, betapa besarnya kontrol kebajikan jika Islam diterapkan untuk mengatur negara ?

Semua pejabat dan ASN (Aparatur Sipil Negara) akan taat, tidak korupsi karena terikat dengan Ruh Islam, yakin terikat akan Pahala dan Dosa, Surga dan Neraka. Kekuatan Ruh Islam ini akan membimbing perilaku pemeluknya. Bukan dengan selembar kertas pakta integritas.

Lantas kenapa kita tidak segera menerapkan Islam? Kenapa kita masih ‘Keukeuh’ dengan Pancasila yang tidak memiliki Ruh? Bukankah mengikat Pancasila itu sama saja mengikat dengan bangkai berjalan?

Yang tidak akan ditaati atau ditakuti, karena tidak ada konsekuensi pahala dan dosa, Surga atau Neraka? [*]

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT