Oleh: La Oddang Tosessungriu
Related Post: Bercermin dari Sejarah
PALONTARAQ.ID – Sejarah adalah alur jejak roda takdir yang berputar tiada henti sepanjang zaman. Manusia tak lain adalah rerumputan yang tumbuh diatas tanah peradaban, kadang tergilas oleh roda takdir dengan tanpa daya menolaknya.
Tumbuh ditengah jalur lintasan takdir bukanlah pilihan, melainkan atas Ketentuan Sang Penggerak jentera takdir: Allah Subhanallah Wata’ala.
Membaca kronik sejarah, terkadang dipandang perlu mencantumkan tarikh persis keterkaitan peristiwa didalamnya.
Pada akhirnya pelajar sejarah mencermati uraian kronik itu sebatas pengetahuan tentang kejadian masa lalu belaka. Kering oleh nilai yang membuahkan hikmah yang sesungguhnya Diletakkan oleh Allah sebagai pelajaran bagi generasi setelahnya.
Maka terjadilah pengkotakan serta vonis terhadap tokoh-tokoh pelakunya, menurut persepsi kekinian-nya. Padahal kearifan sejarah terurai sebagai pesan nyata, bahwa tiada “kebetulan” dalam suatu peristiwa kesejarahan, melainkan ia adalah akibat yang ditimbulkan peristiwa sebelumnya.
Suatu contoh kronik sejarah dalam hal ini adalah seputar efek domino “Musu Attang Patila”, yakni Perang antara Wajo – Bone dalam Tahun 1643.
Bahwa bermula dalam Tahun 1611, Islam menjadi agama Kerajaan Bone berkat peran penting Kerajaan Gowa. Hingga kemudian dalam paruh ke-2 Abad XVII itu, terbitlah sosok Amirul Mu’minin Tana Bone, Puetta La Maddaremmeng.
Dalam usahanya untuk menegakkan syariat Islam secara kaffah, pasukan Bone membakar Peneki yang termasuk wilayah Kerajaan Wajo. Akibatnya, meletuslah perang Wajo – Bone yang disebut “Musu Attang Patila”.
Akibatnya, Arung Matoa Wajo Puetta I La Sigajang Tobunne gugur, menandai pecahnya jalinan persaudaraan bilateral TellumpoccoE yang telah berlangsung selama 4 generasi sebelumnya.
Demi mengetahui perihal gugurnya Arung Matoa Wajo, murkalah Sultan Malikussaid Somba Gowa. Pasalnya, almarhum Tobunne ini adalah sosok yang dekat dengan Gowa karena merupakan cucu dari Arung Matoa Wajo La MungkacE Touddama, guru besar raja Gowa sebelumnya, yakni Sultan Alauddin.
Hubungan emosional yang erat ini mendorong Gowa memasuki kancah perang Wajo – Bone itu dengan melibatkan ke-5 kerajaan Se-Ajatappareng.
Melihat itu, “terpaksa” kerajaan SoppEng yang tadinya “riskan” mencampuri perang kedua “kakaknya”, terjun langsung berpihak pada Kerajaan Bone yang terkesan sedang dikepung “pihak luar” TellumpoccoE.
Efek domino ini saling tindih menindih hingga melahirkan 2 tokoh besar sejarah, yaitu: I Mallombassi DaEng Mattawang Sultan Hasanuddin dan La Tenritatta DaEng SErang Sultan Sa’aduddin. Sultan Hasanuddin yang dalam arti gelarnya adalah “Agama Yang Benar” dan Sultan Sa’aduddin bermakna “Agama Yang Sah”.
Keduanya adalah sosok yang perannya tiada henti dipolemikkan hingga 4 abad setelahnya. Ibarat memperdebatkan ” agama yang benar” dan ” agama yang sah”, entah yang mana lebih utama? Padahal sesungguhnya, “yang benar” dan ” yang sah” itu dimaksudkan adalah agama yang sama, yakni “Addienul Islam”.
Kronik sejarah tak lain adalah rangkaian sebab akibat seiring waktu yang seharusnya menjadi rantai hikmah kearifan yang dipahami sebagai penguat kesatuan generasi dari masa ke masa setelahnya.
Olehnya itu, para arif bijaksana dari masa terdahulu ( toriolo) tak henti mengingatkan pada pembaca sejarah di setiap masa, bahwa: “duami mappasisala: anu temmanessa na anu tenripahang” (hanya dua hal yang menyebabkan perselisihan: ikhwal yang tak jelas dan ikhwal yang tak dipahami).
Tiada lain yang membuat segala sesuatu menjadi samar (tidak jelas), yakni ego ke-akuan dengan hasrat yang haus oleh pengakuan. Tidak ada “kami” atau “kita” (idi’), adanya hanya “aku” (alEku bawang).
Ego ini pulalah yang kerap menutupi akal sehat (pasampo nawa-nawa) sehingga sulit memahami. “Polo paa’, polo pEng” (patah pahat, patah ballpoint), patah budi daya, patah pula akal sehat.
Kurusumange’ kepada anandaku yang mencintai sejarah dan budaya bangsa serta menyelaminya dengan memerankannya dengan hati yang jernih, ..juga penuh cinta.
Terkait diantara kedua tokoh besar kita, pahamilah bahwa Sultan Hasanuddin adalah leluhur kita dan Sultan Sa’aduddin adalah pahlawan kita. Perbandingan keduanya bukanlah antagonis dan protagonis, melainkan termanifestasi sebagai “raga dan jiwa” kita hari ini.
Wallahu ‘alam bish-shawab. (*)