BerandaFiksiMembaca Ulang "Bumi Manusia" dalam Tafsir Hanung Bramantyo

Membaca Ulang “Bumi Manusia” dalam Tafsir Hanung Bramantyo

Roman "Bumi Manusia" diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, disutradarai Hanung Bramantyo. (foto: ist/palontaraq)
Roman “Bumi Manusia” diangkat ke layar lebar dengan judul yang sama, disutradarai Hanung Bramantyo. (foto: ist/palontaraq)

Oleh:  Etta Adil

Tulisan Sebelumnya: Menelisik Cinta Anak Makassar dalam Film Silariang

PALONTARAQ.ID – Penulis benar-benar mendapat surprise. Sutradara Film, Hanung Bramantyo berhasil mengangkat ke layar lebar suasana pergulatan batin dan intelektual roman Bumi Manusia karya sastrawan Pramoedya Ananta Toer.

Judul Film: Bumi Manusia (Nonton Filmnya DISINI)

Sutradara: Hanung Bramantyo

Penulis Skenario: Salman Aristo

Para Pemeran:

– Iqbaal Ramadhan sebagai Minke

– Mawar Eva de Jongh sebagai Annelies Mellema

– Sha Ine Febriyanti sebagai Nyai Ontosoroh

– Ayu Laksmi sebagai ibu Minke

– Donny Damara sebagai Ayah Minke

– Bryan Domani sebagai Jan Dapperste/Panji Darman, teman pribumi Minke

– Giorgino Abraham sebagai Robert Mellema, abang Annelies

– Jerome Kurnia sebagai Robert Suurhorf

– Peter Sterk sebagai Herman Mellema, Ayah Annelies

– Robert Alexander Prein sebagai Maurits Mellema, abang tiri Annelies dan Robert

– Christian Sugiono sebagai Kommer.

Buku Roman Bumi Manusia dan tiket nonton filmnya. (foto: ist/palontaraq)
Buku Roman Bumi Manusia dan tiket nonton filmnya. (foto: ist/palontaraq)

Bumi Manusia merupakan novel sastra sentimentil dan benturan budaya dengan setting masa kolonialisme di Awal Abad 20.

Novel Bumi Manusia dapat didownload: klik DISINI

Hanung Bramantyo berhasil mengaduk-aduk emosi penonton kala berhasil dengan apik menyajikan perjumpaan cinta priyayi, Minke dengan Annelies Mellema, anak Pejabat Kompeni Belanda Herman Mellema, dari rahim seorang gundik, Nyai Ontosoroh.

Minke nama panggilannya, ada rahasia dalam namanya. Seorang priyayi dari Regent Bojonegoro yang belajar di Hogere Burger School (HBS), sekolah setingkat SMA untuk Anak-anak Belanda dan para priyayi. Minke jatuh cinta pada Annelies, gadis cantik yang kekanak-kanakan, putri Nyai Ontosoroh dan Herman Mellema.

Kisah cinta keduanya tumbuh di antara sekian banyak permasalahan sosial dan ketidakadilan di masa penjajahan Belanda. Sebagaimana penceritaan Pramoedya Ananta Toer, Hanung Bramantyo juga sukses menggarap dengan baik kisah perjuangan Nyai Ontosoroh, istri simpanan Herman Mellema yang dipandang miring oleh masyarakat, tapi kemudian belajar menjadi pengusaha ulung dan mempekerjakan pribumi di tanah milik suaminya layaknya tanah milik sendiri.

Diantaranya momen pertemuan Annelies (Mawar Eva de Jongh) dan Minke (Iqbaal Ramadhan), kekaguman Minke pada Nyai Ontosoroh (Sha Ine Febriyanti), diskriminasi terhadap pribumi, hingga perlawanan di pengadilan kulit putih.

Lihat pula:  Menikmati Keseruan Film Futuristik Mortal Engines

Banyak kisah yang tidak terungkap dengan lebih mendalam. Tentang Maiko, salah satu pelacur di rumah Bordil Babah Ah Tjong dan pergulatannya bertahan hidup yang diperankan Kelly Tandiono.

Begitu pua Darsam, yang diperankan Whani Darmawan serta karakter-karakter seperti Herman Mellema, Jan Dapperste atau Panji Darman, Robert Mellema, Ayah dan Ibu Minke terasa tepat.

Dari sisi sinematografi, usaha Hanung untuk menghadirkan situasi kehidupan masa kolonialisme cukup berhasil. Hanung pun cukup berhasil menciptakan adegan pembuka dengan menghadirkan arsip asli kehidupan masa kolonialisme dengan narasi yang disampaikan Minke – mendekati persis seperti buku.

Untuk mendapatkan penggambaran yang jelas tentang keunikan cerita dalam Roman Bumi Manusia, sebaiknya dibaca bukunya, sebelumnya nonton filmnya. (foto: ist/palontaraq)
Untuk mendapatkan penggambaran yang jelas tentang keunikan cerita dalam Roman Bumi Manusia, sebaiknya dibaca bukunya, sebelumnya nonton filmnya. (foto: ist/palontaraq)

Durasi film yang mencapai tiga jam ini nyatanya tidak cukup memenuhi seluruh elemen sebagaimana penceritaan dalam Novelnya Pramoedya Ananta Toer. “Bumi Manusia” lebih ringan dan sederhana di layar kaca.

Kompleksitas masalah dan adegan dalam buku dilepaskan sesuai kebutuhan sinema, diantaranya tentang cara pandang Minke yang semula menganggap Eropa hebat menjadi melihat pribumi, sejak zaman Majapahit,  dinilainya sebenarnya memiliki kemampuan tak terkalahkan.

Pendapat Minke tersebut yang dikemukakannya saat menjadi penerjemah ayahnya, dalam sebuah jamuan makan dihadapan banyak pejabat Kompeni Belanda, begitu pula saat percakapannya dengan Jean Marais dan perdebatannya dengan Sarah dan Miriam de la Croix, hingga dialognya dengan gurunya di HBS, Magda Peters.

Polemik demi polemik terasa hanya sekadar hadir demi kelengkapan, tapi tidak jauh masuk ke dalam pergulatan batin masing-masing karakter. Kisah pun lebih banyak berpusat pada Nyai, Minke, dan Annelies.

Pemeran Annelies, Mawar de Jongh terbilang cukup baik membawa karakter seorang anak Belanda yang kekanak-kanakan dan manja meski kurang tereksplorasi, sedang Sha Ine Febrianti yang mengambil peran Nyai Ontosoroh patut diapresiasi. Terlebih, dalam momen ia menjalani pengadilan kulit putih dan diperlakukan sebagai masyarakat kelas ketiga.

Lihat pula: National Treasure, Ekspedisi Wilkes dan La Galigo

Bagi penulis, terasa ada pesan halus dan perlu diwaspadai dalam adegan dan dialognya ketika Nyai Ontosoroh mendapati anaknya dan Minke seranjang dalam kondisi baru saja bergumul. Reaksi yang dimunculkannya tidak menggambarkan seorang Ibu dari Timur bereaksi sebagaimana seharusnya.

Seolah-olah hal yang disaksikannya adalah hal yang biasa dan umum dalam Budaya Timur.  Menjadi pertanyaan, apakah karena Nyai Ontosoroh adalah gundik dari seorang pria Barat, berikut pengalaman pahit yang telah dilaluinya?  Kebobrokan sosial dan hukum ini juga sedikit banyak  menggambarkan hilangnya kepribadian seorang Ibu dari Timur.

Begitu pula dilema perasaan, cinta dan budaya priyayi yang membelenggu Minke dengan segala sistem budaya dan lingkungan sekolah Belanda yang membesarkannya.

Kedua, percakapan tentang Snouck Hurgronje yang seolah-oleh apa yang dilakukannya dan visinya tentang Hindia Belanda (Nusantara) adalah role model seorang intelektual. Mungkin ini adalah bumbu cerita yang tidak ada dalam novel sastra Pramoedya Ananta Toer, tetapi  tetap saja  hal ini terasa mengganggu mengingat Snouck Hurgrounge adalah ilmuwan yang bekerja untuk mencari jalan pelemahan umat Islam, sebagai bagian tugas khusus dari rezim kolonial.

Di akhir film, penulis sedikit terganggu dengan iringan lagu ‘Ibu Pertiwi’ dari Iwan Fals meski dengan tetap menampilkan kutipan legendaris Pram: “Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.” (*)

 

Etta Adil, seorang Penulis dan Pengasuh Rumah Baca Palontaraq. Karya bukunya meliputi berbagai bidang dan tema, Biografi, Sejarah, Sosial Budaya, Pendidikan, dan Fiksi. Beberapa karyanya antara lain: Sejarah dan Kebudayaan Pangkep (Pemkab Pangkep, 2007), Sejarah Kekaraengan di Pangkep (Pustaka Refleksi, 2008), Manusia Bissu (Pustaka Refleksi, 2008), Antologi Puisi-Penjara Suci (Pustaka Puitika, 2015),  Surat Cinta untuk Bidadari Kecilku di Surga (Pustaka Puitika, 2015).

 

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT