BerandaBeritaDaerahRiwayat Raja Bone (31): La Pawawoi Karaeng Segeri

Riwayat Raja Bone (31): La Pawawoi Karaeng Segeri

Oleh: M. Farid W Makkulau

Tulisan Sebelumnya: Riwayat Raja Bone (30): We Fatimah Banri Gau’

PALONTARAQ.ID – La Pawawoi Karaeng Sigeri menggantikan saudaranya MatinroE ri Bolampare’na menjadi Arung Mangkaue’ ri Bone saat usianya sudah tua tetapi karena memiliki hubungan baik dengan Kompeni Belanda, sehingga dirinya yang ditunjuk menjadi Arumpone.

Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa Pada tahun 1859, La Pawawoi Karaeng Sigeri dinilai dekat dengan Belanda, bahkan berjasa dalam membantu Kompeni Belanda memerangi Turate dan ketika kembali dari Turate, pada tahun 1865, maka diangkatlah sebagai Dulung Ajangale dan menjadi Karaeng di Segeri.

Keberanian dan kecerdasan La Pawawoi Karaeng Sigeri dalam berperang menjadi buah tutur sehingga namanya menjadi populer. Ketika saudaranya We Banri Gau MatinroE ri Bolampare’na menjadi Arumpone, La Pawawoi Karaeng Sigeri diangkat menjadi Tomarilaleng di Bone.

Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, disebutkan bahwa Ketika Karaeng Bontobonto melakukan perlawanan terhadap Kompeni Belanda, La Pawawoi Karaeng Sigeri dipanggil kembali oleh Kompeni Belanda untuk membantu meredakan perlawanan Karaeng Bontobonto tersebut. Perlawanan Karaeng Bontobonto yang dimulai pada tahun 1868 nanti tahun 1877 baru dapat dipadamkan.

Letak Kabupaten Bone dalam Geografi Sulawesi Selatan (foto : ist/palontaraq)
Letak Kabupaten Bone dalam Geografi Sulawesi Selatan (foto : ist/palontaraq)

Karena Pembesar Kompeni Belanda merasa berutang budi atas bantuan yang diberikan oleh La Pawawoi Karaeng Sigeri, maka diberikanlah penghargan berupa Bintang Emas besar dengan kalung yang dinamakan De Grote Gouden ster voor traun en verdienste.

Kesepakatan Hadat Tujuh Bone dengan Kompeni Belanda dan Arumpone untuk mengusir Karaeng Popo dari Bone. Setelah Karaeng Popo kembali ke Gowa, anaknya yang bernama We Sutera Arung Apala meninggal dalam tahun 1903.

Pada tanggal 16 Februari 1895, terjadi lagi kesepakatan antara Belanda dengan Bone untuk memperbaharui Perjanjian Bungaya. Belanda bertambah yakin bahwa persekutuannya dengan Bone sudah kuat, namun setahun setelahnya terjadinya kontrak persekutuan itu Belanda melihat adanya tanda-tanda perjanjian bakal diingkari oleh Arumpone.

Pada tanggal 16 Februari 1896. perjanjian itupun dilanggar dan mulailah berlaku keras terhadap sesamanya Arung dan orang banyak. Tindakan itu seperti diperanginya Sengkang dan Arung Peneki, La Oddang Datu Larompong dengan alasan bahwa Arung Peneki dan Datu Larompong menghalangi dagangan garamnya untuk masuk ke Pallime. Bagi Arung Sengkang, mencampuri perselisihan antara Luwu dengan Enrekang.

Patung Arung Palakka di Bone (sumber: wisatago)
Patung Arung Palakka di Bone (sumber: wisatago)

Untuk itu Pembesar Kompeni Belanda di Ujungpandang, Tuan Krussen memperingatkan, tetapi La Pawawoi Karaeng Sigeri tidak mengindahkannya. Pada tahun 1904. Gubernur Kompeni Belanda meminta sessung (bea) pada Pelabuhan Ujungpandang namun dihalangi oleh Arumpone.

Kompeni Belanda juga meminta untuk mendirikan loji di BajoE dan Pallime, kemudian membayar kepada Arumpone sesuai dengan permintaannya. Semua itu ditolak oleh Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri, bahkan Arumpone memungut sessung bagi orang Bone yang ada diluar Bone.

Karena permintaan Belanda merasa tidak diindahkan oleh Arumpone, maka pada tahun 1905 Bone diserang. Penyerangan dipimpin oleh Kolonel van Loenen dengan persenjataan lengkap. Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri mundur ke arah Palakka dan selanjutnya ke Pasempe’, sementara Belanda memburu terus hingga akhirnya Arumpone, keluarga dan laskarnya mengungsi ke Lamuru, Citta dan terus ke Pitumpanua Wajo.

Panglima Perang Arumpone ialah putra sendirinya yang bernama Abdul Hamid Baso Pagilingi dibantu oleh Ali Arung Cenrana, La Massikireng Arung Macege, La Mappasere Dulung Ajangale, La Nompo Arung Bengo, Sulewatang Sailong, La Page Arung Labuaja.

Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri bersama Baso Pagilingi Petta PonggawaE serta sejumlah laskar pemberaninya terakhir berkedudukan di Awo perbatasan Siwa dengan Tana Toraja. Bone diserang lagi Belanda pada tanggal 30 Juli 1905, Arumpone mengungsi ke Pasempe.

Pada Tanggal 2 Agustus 1905, Belanda menyerbu masuk ke Pasempe, tetapi Arumpone dengan laskar dan keluarganya sudah mengungsi ke Lamuru dan Citta. Dalam September 1905, rombongan Arumpone tiba di Pitumpanua Wajo. Tentara Belanda tetap mengikuti jejaknya dan nanti pada tanggal 18 November 1905 barulah bertemu laskar pemberani Arumpone dengan tentara Belanda dibawah komando Kolonel van Loenen.

Pada saat itu, Baso Pagilingi Petta PonggawaE gugur terkena peluru Belanda yang membuat Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri memilih menyerah. Pertimbangannya karena kondisi laskarnya yang semakin menurun dan gugurnya Panglima Perang Bone yang gagah perkasa.

Arumpone ditangkap dan dibawa ke Parepare, selanjutnya naik kapal ke Ujungpandang. Selanjutnya dari Ujungpandang dibawa ke Bandung. Sepeninggal La Pawawoi Karaeng Sigeri, pemerintahan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Bone.

Pada tanggal 2 Desember 1905. Gubernur Jenderal Belanda di Jakarta menentukan bahwa TellumpoccoE (Bone – Soppeng – Wajo) di Celebes Selatan disatukan dalam satu pemerintahan yang dinamakan Afdeling Bone yang pusat pemerintahannya berada di Pompanuwa. Di Pompanua inilah berkedudukan Pembesar Afdeeling yang disebut Asistent Resident.

Afdeling Bone dibagi menjadi lima bahagian, yaitu tiap-tiap bahagian disebut Onder Afdeling dan dipegang oleh seorang yang disebut Tuan Petoro. Petoro itu dibagi lagi menjadi; Petoro Besar ialah Asistent Resident, Petoro Menengah ialah Controleur dan Petoro Kecil ialah Aspirant Controleur. Ketiga tingkatan itu semua dipegang oleh orang Belanda, sedangkan tingkat dibawahnya bisa dipegang oleh orang pribumi kalau memiliki pendidikan yang memadai.

peta bone. (foto: ist/palontaraq)
peta bone. (foto: ist/palontaraq)

Tingkat yang bisa dipegang oleh orang pribumi seperti Landschap atau Bestuur Assistent. Dibawanya disebut Kulp Bestuur Assistent yang biasa dipendekkan menjadi K.B.A. Adapun bahagian Afdeling Bone, adalah Onder Afdeling Bone Utara, ibu kotanya di Pompanuwa, Onder Afdeling Bone Tengah, ibu kotanya di Watampone, diperintah oleh Petoro Tengah yang disebut Controleur, Onderafdeeling Bone Selatan, ibu kotanya di Mare diperintah oleh Aspirant Controleur, Onderafdeeling Wajo, ibu kotanya Sengkang (sebelum Belanda di Tosora) diperintah oleh Controleur, dan Onderafdeeling Soppeng, ibu kotanya Watassoppeng diperintah oleh Controleur.

Kembali kepada kedatangan Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri di Pitumpanuwa, karena pada saat itu memang termasuk dibawah kekuasaan Bone. Disebut Pitumpanuwa karena ada tujuh wanuwa yang menjadi palili (bawahan) Bone, yaitu Kera, Bulete, Leworeng, Lauwa, Awo, Tanete, dan Paselloreng.

Setelah Bone kalah yang dalam catatan sejarah disebut Rumpa’na Bone, barulah diambil oleh Belanda dan diserahkan kepada Wajo. Akan tetapi hanyalah berbentuk Lili Passeajingeng artinya segala perintah tetap dikeluarkan oleh Kompeni Belanda. Begitu pula di Bone, sejak ditawannya La Pawawoi Karaeng Sigeri segala perintah hanya dilakukan oleh Hadat Bone dibawah kendali Kompeni Belanda.

Di Wajo tetap Arung Matowa Wajo yang menjadi penyambung lidah Kompeni Belanda, sedang di Soppeng dilakukan oleh Datu Soppeng dan Bone dilakukan oleh TomarilalengE.

Yang pertama-tama dilakukan oleh Kompeni Belanda setelah Arumpone diasingkan ke Bandung, adalah mengumpulkan semua sisa-sisa persenjataan dari laskar Arumpone yang masih tersimpan. Dipungutlah sebbu kati (persembahan) dari masyarakat sebesar tiga ringgit untuk satu orang. Pungutan itu adalah pengganti kerugian Belanda selama berperang melawan Arumpone.

Setelah pungutan yang diberlakukan di wilayah TellumpoccoE selesai, Belanda mulai membuat jalan raya sehingga seluruh laki – laki dewasa diwajibkan bekerja membangun jalan raya tersebut. Yang tidak mampu bekerja diwajibkan tiga ringgit. Ketika itu, Belanda ikut memindahkan ibu kota Afdeling Bone dari Pompanua ke Watampone dimana berkedudukan Assistent Resident Bone.

Arumpone La Pawawoi Karaeng Sigeri yang pada mulanya diasingkan di Bandung, akhirnya dipindahkan ke Jakarta. Pada tanggal 11 November 1911 Arumpone ini meninggal dan digelari MatinroE ri Jakattara. Dalam tahun 1976, dianugrahi gelar sebagai Pahlawan Nasional, dan kerangka jenazahnya dipindahkan ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.

Sewaktu La Pawawoi Karaeng Sigeri meninggal dunia, tidak jelas siapa sebenarnya anak pattola (putra mahkota) yang dapat menggantikannya karena Petta Punggawae Baso Pagilingi yang dipersiapkan ternyata gugur dalam perang melawan Belanda di Awo. Saat gugurnya Baso Pagilingi Petta PonggawaE, La Pawawoi Karaeng Sigeri langsung menaikkan bendera putih sebagai tanda menyerah.

Rupanya La Pawawoi Karaeng Sigeri melihat bahwa putranya yang bernama Baso Pagilingi itu adalah benteng pertahanan dalam perlawanannya terhadap Belanda. Sehingga setelah melihat putranya gugur, spontan ia berucap, ”Rumpa’ni Bone”, artinya benteng pertahanan Bone telah bobol.

Baso Pagilingi itulah yang dilahirkan dari perkawinannya dengan isterinya yang bernama We Karibo cucu dari Arung Mangempa Berru. Karena hanya itulah isterinya yang dianggap sebagai Arung Makkunrai (permaisuri) di Bone.

Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri menjadi Mangkau’ di Bone, diangkat pulalah putranya Baso Pagilingi Abdul Hamid sebagai Ponggawa (Panglima Perang). Baso Pagilingi Abdul Hamid kawin dengan We Cenra Arung Cinnong anak dari La Mausereng Arung Matuju dengan isterinya We Biba Arung Lanca. Dari perkawinannya itu, lahirlah La Pabbenteng Arung Macege.

sumber foto: SkyscraperCity
sumber foto: SkyscraperCity

Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone juga disebutkan bahwa La Pawawoi Karaeng Sigeri juga kawin Daeng Tamene, cucu dari Arung Mangempa Berru. Dari perkawinannya lahirlah We Tungke Besse Bandong, karena inilah isteri yang mengikutinya diasingkan ke Bandung. We Tungke Besse Bandong kawin dengan La Maddussila Daeng Paraga anak dari Pangulu JowaE ri Bone saudara MatinroE ri Jakarta dengan isterinya We Saripa.

Ketika La Pabbenteng diangkat menjadi Arumpone, suami Besse Bandong Daeng Paraga diangkat pula menjadi MakkedangE Tana. Karena MakkedangE Tana meninggal dunia, maka Besse Bandong kawin lagi dengan sepupu dua kalinya La Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang SombaE ri Gowa, anak dari I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bontonompo dengan isterinya Karaeng Tanatana.

Lontaraq Akkarungeng ri Bone menyebutkan keturunan La Pawawoi Karaeng Sigeri dari isterinya We Patimah asal Jawa Sunda ialah La Mappagau yang melahirkan La Makkulau Sulewatang Pallime, Arung Jaling yang kawin dengan Ali Arung Cenrana anak dari La Tepu Arung Kung dengan isterinya We Butta Arung Kalibbong. Dari perkawinannya itu lahirlah We Manuare, Arase, dan La Sitambolo.

Ketika La Pawawoi Karaeng Sigeri diasingkan ke Bandung, Pemerintahan Kerajaan di Bone hanya dilaksanakan oleh Hadat Tujuh (Ade’ Pitu) Bone. Hadat Tujuh Bonelah yang melakukan pembaharuan Perjanjian Bungaya dengan Kompeni Belanda. Dengan demikian selama 26 tahun tidak ada Mangkau’ di Bone. Setelah Kompeni Belanda merasa tenang, baru mengangkat salah seorang putra mahkota untuk menjadi Arumpone. (*)

 

 

2 KOMENTAR

  1. Alhamdulillah, sangat informatif sekali Pak Farid, sangat membantu untuk disosialisasikan kepada generasi muda dalam pembelajaran sejarah.
    Tabe, mohon izin saya share tulisanta terkait dengan riwayat Raja-Raja Bone

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT