Oleh: M. Farid W Makkulau
PALONTARAQ.ID – KOMUNITAS Bissu selalu saja menarik untuk dibahas dan ditulis. Sebagai penulis buku, “Potret Komunitas Bissu di Pangkep” (Pemkab Pangkep, 2006) dan “Manusia Bissu” (Pustaka Refleksi, 2007), banyak orang kemudian mendatangi penulis, pelajar dan mahasiswa, guru dan pegawai daerah, wartawan, pekerja seni dan budayawan, pegiat wisata, tourist guide, peneliti, sampai turis mancanegara yang mengunjungi Kabupaten Pangkep, menanyakan tentang Komunitas ‘Waria Sakti’ dari Peradaban Bugis kuno ini.
Seusai memberikan penjelasan, saya sering menitip pertanyaan kepada mereka untuk dipikirkan. “Coba pikir adakah komunitas unik lain yang potret kehidupannya mirip dengan Bissu. Bagaimana dengan Biksu ? Bukankah Bissu dan Biksu sama-sama Pendeta ?
Apa perbedaan Bissu di Siang (Pangkep, Sulsel) dan Biksu di Siam (Thailand), Bukankah dalam banyak hal kehidupan sosial ekonomi dan tofografi alam yang melatar-belakangi eksistensi dan peran Komunitas Bissu di Siang dan Biksu di Siam memiliki kemiripan?”-pancing penulis.
“Bagaimana bapak bisa sampai ke pertanyaan itu ?” tanyanya kepada penulis. “Nah, inilah juga yang ingin saya ketahui. Penulis ingin sekali ada peneliti yang memikirkan beberapa pertanyaan ini, syukur-syukur kalau ada yang mencoba mengungkapkan hubungannya lewat penelitian yang serius dan mendalam ?”, jawab penulis.
Sebenarnya pertanyaan pancingan saya tersebut lebih didasarkan pada suatu skenario sejarah yang ada dalam pikiran saya, yang mungkin saja terjadi di masa lampau.
Sekedar gambaran bahwa Kerajaan Siang yang saya sebutkan diatas adalah Kerajaan Makassar terbesar yang pernah ada, berkembang dan mengalami kejayaan jauh sebelum munculnya eksistensi Kerajaan Gowa di sebelah selatannya dan kerajaan Bone di sebelah timurnya. Hal ini bisa dibaca di Buku “Sejarah dan Kebudayaan Pangkep” (Makkulau, 2007) atau tulisan penulis tentang Kerajaan Siang di Wikipedia.
Kerajaan Siang, sebagaimana dicatat dalam Laporan Portugis, Antonio de Payva dalam dua kali periode kunjungannya ke Siang, Tahun 1542 dan 1544, mendapati bahwa Siang adalah kerajaan Makassar terbesar yang pernah ada, yang tidak lagi begitu. Artinya, pada saat kedatangan para pelaut portugis dalam perjalanannya mencari Pulau rempah-rempah itu mendapati Kerajaan Siang sedang menurun pengaruhnya.
Saat kedatangan Antonio de Payva tersebut, bandar pelabuhan Siang masih ramai dikunjungi oleh para pedagang dari sebelah barat kepulauan Nusantara, meski sudah menurun pengaruh kekuasaannya. Para pendatang di pelabuhan Siang tersebut adalah para pedagang melayu dari Semenanjung Malaka dan dari Patani, Thailand Selatan.
Bahkan menurut penguasa setempat, komunitas pedagang melayu (termasuk dari Thailand) telah bermukim di sepanjang pesisir pantai barat Siang 50 tahun sebelum kedatangan ekspedisi pelaut Portugis tersebut. Manuel Pinto, pelaut Portugis lain yang mengunjungi Siang dalam tahun 1545 memperkirakan jumlah penduduk Siang ketika itu 40.000 jiwa.
Pada saat kedatangan Antonio de Payva ke Siang tersebut, juga bermaksud untuk menyebarkan Kristianisme di Siang. Hanya sayangnya, Bissu yang ketika itu berperan sebagai penasehat spiritual raja, menolak dan menentangnya. Dari laporan Portugis tersebut, terungkap bahwa Bissu sudah dikenal sejak masa kekuasaan Kerajaan Siang.
Sampai kini, masih banyak juga penduduk di beberapa kampung dalam wilayah Pangkajene-Pangkep mengaku sebagai keturunan melayu dengan penyebutan “Ince” (penyesuaian bahasa setempat dari kata Enci) di depan namanya.
Dengan menafikan La Galigo sebagai kitab epik mitik Bugis yang juga banyak menceritakan tentang kehadiran Bissu sebagai penyempurna peran dari Dewa yang diturunkan dari langit (Dunia Atas) untuk memerintah di Bumi (Dunia Tengah) dan kawin dengan Dewa yang dimunculkan dari lautan (Dunia Bawah) serta perannya yang melengkapi penceritaan Tomanurung dan generasinya.
Pertanyaan yang tersisa kemudian yang harus terjawab melalui penelitian adalah, “Apakah hubungan Siang dan Siam di masa lampau, minimal hubungan perdagangan dan budaya yang jika kita lihat di masa kini, beberapa diantaranya memiliki kemiripan.
Begitu pula halnya dengan Bissu dan Biksu, yang di tempat berbeda mengambil peran yang sama, sebagai pendeta dan penasehat spiritual bagi raja dan rakyatnya”. Ini tantangan bagi peneliti untuk mengungkapnya, saya siap membantu kapanpun jika diperlukan. (***)