BerandaCerita RakyatCerita Rakyat: Sitti Naharira (10)

Cerita Rakyat: Sitti Naharira (10)

Foto/ilustrated by: mfaridwm/palontaraq
Foto/ilustrated by: mfaridwm/palontaraq

Oleh: H. Djamaluddin Hatibu

Tulisan sebelumnya: Cerita Rakyat: Sitti Naharira (9)

PALONTARAQ.ID – Saat itu Nakhoda Husen betul-betul dikuasai amarah. Dia memerintahkan anak buahnya untuk memanggil tukang kebun itu bersama istrinya. Tak ada seorang pun anak buahnya yang berani membantah perintah Nakhoda Husen terlebih dalam kondisi marah seperti itu.

Tukang kebun bersama istrinya terheran-heran mendapat panggilan dari Nakhoda Husen. Meskipun begitu mereka tetap memenuhi panggilan tersebut. Setelah mereka sampai di perahu, mereka dipersilakan duduk dekat kemudi.

“Maafkan saya wahai tukang kebun, ambillah istriku dan relakan juga istrimu untukku. Tukarkan pakaian yang melekat di badanmu” kata Nakhoda Husen.

Tukang kebun bersama istrinya semakin heran. Sementara Sitti Naharira menangis sejadi-jadinya. Dielusnya dadanya berusaha menenangkan dirinya sendiri.

“Kalau memang nasibku, kalau memang takdirku pasti aku akan merasakan. Namun demikian ingatlah pesan ayah bundaku kalau ada sesuatu yang akan kau lakukan pikirkanlah dengan matang. Bawalah ia berjalan, bawalah ia duduk, dan bawalah ia berbaring kalau keliru penyesalanlah yang akan terjadi kemudian” ucap Sitti Naharira lirih pertanda ada pilu yang menyayat hatinya.

“Menyesal apa?” kata Nakhoda Husen dengan nada suara yang semakin meninggi.

“Cepat tukarkan pakaian yang kau kenakan, lalu ikut tukang kebun itu!” perintah Nakhoda Husen yang semakin kesetanan.

Tak ada seorang pun yang berani membantah Nakhoda Husen termasuk si tukang kebun bersama istrinya yang seakan terhipnotis mengikuti semua perintahnya. Dengan hati hancur Sitti Naharira mengulurkan tangan kepada suaminya, menyalaminya sebagai tanda perpisahan.

“Semoga Allah memanjangkan umur kita dan memberi kita kesempatan untuk bertemu kembali” kata Sitti Naharira nyaris tak terdengar.

Setelah pamit Sitti Naharira diikuti tukang kebun menaiki sampan lalu diseberangkan ke darat. Sitti Naharira tak pernah lagi menoleh ke arah perahu Bondeng Manai. Hatinya betul-betul hancur.

Tak lama setelah Sitti Naharira bersama tukang kebun menginjakkan kaki di bibir pantai, bertolak pulalah Perahu Bondeng Manai meninggalkan pelabuhan.

 

Bersambung  …….

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT