BerandaCerita RakyatCerita Rakyat: Sitti Naharira (9)

Cerita Rakyat: Sitti Naharira (9)

Foto/ilustrated by: mfaridwm/palontaraq
Foto/ilustrated by: mfaridwm/palontaraq

Oleh: H. Djamaluddin Hatibu

Tulisan sebelumnya:  Cerita Rakyat: Sitti Naharira (8)

PALONTARAQ.ID – Tiba hari yang disepakati, berlangsunglah pesta pernikahan Sitti Naharira bersama Nakhoda Husen yang cukup meriah. Berdatangan kerabat dan keluarga serta orang pemerintah.

Punggawa Bonang bersama istri yang menjadi pengganti orang tua Nakhoda Husen, sama ketika pernikahan antara Sitti Naharira dengan Nakhoda Hasan. Gendang, gong dan pui-pui menambah semarak pesta.

Sementara wajah sang mempelai wanita begitu menawan dengan balutan busana pengantin warna merah berhiaskan emas berkilau. Begitu banyak pujian dialamatkan pada Sitti Naharira.

“Dia memakai cenningrara yang dibawa sejak lahir” puji salah seorang tamu.

Selang beberapa waktu, pasangan pengantin baru itu duduk santai menikmati teh dan kue yang dihidangkan Sitti Naharira.

“Silakan minum kue dan makan tehnya” kata Sitti Naharira mempersilakan suaminya menikmati hidangan yang telah disuguhkan.

Nakhoda Husen heran mendengar ucapan Sitti Naharira.

“Apa maksudnya dibalik seperti itu?” tanya Nakhoda Husen dengan heran.

“Ah, tidak ada maksud apa-apa hanya sekadar pameo yang nanti diingat kala besok lusa di negeri orang. Terlebih Kakanda seorang pelaut yang berlayar ke negeri yang jauh” ujar Sitti Naharira merajut manja pada suaminya.

Demikian perbincangan mesra pasangan pengantin baru itu.

Setelah empat puluh hari menikmati bulan madu tibalah saatnya Nakhoda Husen pergi berlayar. Segala bekal dipersiapkan termasuk barang dagangan yang akan dibawa ke Pinrang, Majene, dan Mamuju. Melihat semua itu berkatalah Sitti Naharira pada suaminya.

“Sunggu baik andaikan saya diajak berlayar, Kakanda” ujar Sitti Naharira penuh harap.

“Wahai Adinda, selama ini belum pernah ada wanita yang ikut berdagang. Apa nanti kata teman-temanku sesama nakhoda bila diketahui saya membawa istri” kata Nakhoda Husen .

“Saya paham, namun sudah kupikirkan di kala duduk, di kala berdiri, dan di kala berbaring. Saya  memutuskan ikut berlayar agar bisa merasakan bagaimana rasanya dilamun ombak. Dan yang paling penting aku tidak mau merasakan kejadian terulang seperti yang menimpaku dengan Nakhoda Hasan” kata Sitti Naharira dengan wajah sungguh-sungguh.

“Kalau demikian maumu Adinda, silakan persiapan segala kebutuhanmu selama perjalanan” kata Nakhoda Husen tak mampu menolak keinginan istrinya.

Saat yang baik tiba, bergeraklah perahu Bondeng Manai menjauhi pantai. Sitti Naharira memandang penuh arti dua buah rumah yang akan ditinggalkannya.

Seiring laju perahu semakin kecil pula terlihat rumah kembar itu. Tak terasa air mata Sitti Naharira jatuh membasahi pipinya. Dalam hatinya berkata bahwa memang seperti inilah takdir yang harus dia jalani.

Setelah menempuh perjalanan tiga hari tiga malam tibalah kapal Bondeng Manai di sebuah pelabuhan kecil masuk dalam wilayah Maraddia Majene.

Saat matahari merekah di sebelah timur, kelihatan jelas rumah yang ada di daratan. Sitti Naharira ingin melihat pemandangan itu lebih jelas lagi maka ia pun keluar menuju anjungan perahu.

Tiba-tiba matanya tertuju pada tukang kebun bersama istrinya yang mengumpulkan hasil kebun untuk dijual di pasar. Melihat pakaian tukang kebun yang compang-camping timbullah rasa iba di hati Sitti Naharira.

“Sungguh keterlaluan tukang kebun itu, biar jarum sebatang  benang sehelai tak mampu dibeli untuk istrinya” kata Sitti Nahaarira.

Ucapan Sitti Naharira sempat terdengar oleh Nakhoda Husein yang saat itu berada di kamar.

“Apa katamu…Biar jarum sebatang, benang sehelai tak mampu aku belikan?” bentak Nakhoda Husen sambil keluar dari kamar.

“Rumah besar lengkap dengan isinya mampu aku berikan, dasar perempuan tak tahu diuntung!” kata Nakhoda Husen dengan penuh amarah.

“Bukan Nakhoda yang saya maksud. Lihatlah tukang kebun itu dengan istrinya, pakaiannya compang-camping.  Saya katakan sungguh keterlaluan tukang kebun itu biar jarum sebatang benang sehelai tidak mampu dia belikan untuk istrinya” kata Sitti Naharira menahan air mata yang sedikit lagi tumpah.

“Engkau memang tidak tahu diri, tidak tahu diuntung” bentak Nakhoda Hasan seakan tak peduli dengan istrinya yang mulai terisak.

“Tidak pernah terlintas dalam hatiku sifat seperti itu” kata Sitti Naharira dalam tangisnya.

 

Bersambung ……

Artikel sebelumnya
Artikel selanjutnya

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT