BerandaSosial BudayaBahasa DaerahPacarita Sikarannuang ri Lae-lae’

Pacarita Sikarannuang ri Lae-lae’

Oleh: Etta Adil

PALONTARAQ.ID – Tulisan ini sebenarnya merupakan pindahan dari tulisan yang sudah terpublish sebelumnya di Kompasiana, yang penulis sendiri bersama kompasianer lainnya ketika itu, terlibat dalam PROSA  ‘Pacarita Sikarannuang ri Lae-lae’ sebagai salah satu prossa yang turut mewarnai deretan prosa di Malam Prosa Kompasiana (MPK), Sabtu-Ahad (10-11/6) Tahun 2011.

Penulis sendiri menyambut positif ajang kreasi penulisan prosa ini dan terlibat didalamnya dengan nomor peserta 32, kolaborasi dengan Madidi, “Demi Anakku, Tak Kuijinkan Engkau Selingkuh” dan nomor 63, kolaborasi dengan Ummu Adil, “Gara-gara Facebook”.

* * *

Di Sulawesi Selatan, sebenarnya wilayah pemakaian Bahasa Makassar (BM) hanya mencakup Kabupaten Pangkep, Maros, Makassar, Gowa, Takalar, Jeneponto, Bantaeng, Bulukumba, Sinjai, Bone dan Selayar.

Pemakaian BM yang tersebar ke beberapa daerah dengan kondisi geografis dan karakteristik masyarakatnya yang relatif berbeda menyebabkan terjadi keberagaman dialek, yaitu Dialek Lakiung, Turatea, Bantaeng, Konjo dan Selayar.

Selain daerah tersebut diatas, umumnya berbahasa Bugis, terkecuali Maros dan Pangkep yang bahasanya dua, Bugis dan Makassar.

Nah, tulisan ini pada akhirnya saya maksudkan supaya pembaca tidak salah dalam memahami Prosa ‘Pacarita Sikarannuang ri Lae-lae’, khususnya terkait pemakaian BM dalam penulisan prosa/karya fiksi.

Dialek Bahasa Makassar yang terpakai dalam Prosa ‘Pacarita Sikarannuang ri Lae-lae’ adalah Dialek Lakiung, suatu dialek yang umum dan lebih banyak dipakai dalam Masyarakat Sulsel, contoh Dialek Lakiung dapat kita temukan dalam Prolog dan Epilog prosa tersebut, seperti: “Nipakarammulami anne caritayya”, Artinya : Maka dimulailah ini cerita. 

“Bajiki kapang punna sikarannuangki ri Lae–lae. Nakukio ngasengi andikku anjo balalayya.”

Artinya: Alangkah bagus kalau kita saling merindukan di Lae-lae, mau kupanggil semua Adik-adik sekolahku dulu yang terkenal kerakusannya.

“Bajiki antu rencananu andikku, Baji tongi kapang punna nisuro ngasengi angngerang kanrejawa. Niuji tommi apakah anjo nau’rangi ngasengji kampongna.”

Artinya: Bagus itu rencanamu adikku. Lebih bagus lagi kalau kita suruh mereka membawa kue-kue tradisional sekaligus menguji mereka apakah masih ingat kampung halamannya.

Contoh seterusnya seperti, “Mingka niajja wattu sigappa. Baji memang tongi punna sirampe–rampeki golla na kaluku.”

Artinya : Semoga ada waktu bersua, Memang bagus jika kita saling mengharapkan kebaikan bagaikan gula (manis) dan kelapa (baik). 

Lebba ngasengmi”, Artinya : sudah semua. “Sabbaramaki Daeng, punna nakke eroka appare Umba –umba sagang Pa’piong.”

Artinya : Ehh, sabar kak, kalau saya, akan saya buat Umba-umba dan Pa’piong. Eromi labbusu’ pulsaku”, Artinya: Sudah mau habis pulsaku. “Tonga”, Artinya : Juga, dan Nabawakanga”, Artinya “ Saya dibawakan.

Okkots dan -mi

Pemakaian kata ‘Okkots’ sebenarnya merupakan penyimpangan berbahasa, baik dalam berkomunikasi maupun dalam tulisan.

Okkots disini maksudnya pemakaian atau pengucapan suatu kata dengan menambahkan (-ng atau -g) atau menghilangkannya.

Misalnya, teman diucapkan temang, makan disebut makang, sembahyang disebut sembayyang, dan lain sebagainya.

Dalam kenyataannya, pengucapan kata – kata ‘Okkots’ tersebut tentu bukan merupakan suatu kesengajaan, tetapi karena pengaruh berbagai dialek dalam bahasa etnis, khususnya Bahasa Makassar.

Dalam Prosa kolaborasi ‘Pacarita Sikarannuang di Lae-lae’ yang ditulis beberapa blogger (kompasianer) asal Sulsel, tentu penulisan kata ‘Okkots’ tersebut merupakan suatu kesengajaan, seperti: sendiriang, making, sembayankang, tangangdimakang, temangkuran, biking, daung, dan lain sebagainya.

Pengungkapan bahasa seperti itu dalam penulisan tentu akan menjadi ciri khas tersendiri yang mewarnai cerita, tapi disisi lain menjadi ‘bumerang’ bagi yang tidak memahaminya, karena akan berdampak pula terhadap tidak dimengerti jalan ceritanya.

Sebenarnya pemakaian kata ‘Okkots’ itu banyak dipopulerkan siswa dan mahasiswa Makassar yang belajar dan kuliah di luar Sulsel serta pengaruh komunikasi pergaulan mereka yang berasal dari berbagai kabupaten di Sulsel kemudian bertemu dalam komunikasi yang lebih elitis di Makassar.

Bahasa ‘Okkots’ sama halnya dengan sebutan ‘ma’logat’ atau melupakan bahasa ibu-nya setelah hidup sekian lama di negeri orang, Cuma bedanya ‘Ma’logat’ merupakan cibiran atau sindiran terhadap orang yang melupakan asal usulnya, termasuk bahasa etnisnya.

Hal ini berbeda dengan pemakaian bahasa ‘Okkots’ yang menurut saya merupakan ‘jalan damai’ dialek dalam Bahasa etnis (Bahasa Makassar) terhadap Bahasa nasional (Bahasa Indonesia).

Prosa ‘Pacarita Sikarannuang ri Lae-lae’ pada akhirnya dipenuhi dengan bahasa ‘Okkots’ dan ‘Ma’logat’.

Untuk penggunaan kata sifat dengan akhiran –mi bisa diartikan sudah atau sedang, seperti contoh: Melayang-layangmi, bisamibanya’mi, kugesermi, jatuhmi, Menyenangkanmi pulangmiratami, dan coklatmi.

Begitu pula kata: Rapimi, ApamiMarimi, Bahagiami, Inimi, enakmi, kuputuskanmi, Kucobami, mulaimi, jadimi, siapkanmi, kuambilmi, taruhmi, gulungmi, Lipatmi, jadimi, betulmi, Biarmi, langsungmi, Apami, digantimi, jam enammi, dikukusmi, dinginmi, bisami, Kucekmi, cobami, Apami, lamami, apami, Beresmi, dan lain sebagainya. 

Cukup banyak kita temukan dalam Prosa keroyokan Inge, Etta Adil, Uleng Tepu, Affandi Sido, Dyah Restyani, Indra F Soaleh, Rianty Indah Ayuri, Nuri Nura, Fitri Ati, Irsyam Syam, dan Deghost We Vekhayil.

Untuk kata benda dengan akhiran –mi bisa diartikan hanya, saja atau itu saja. Seperti contoh : Dangkemi atau barongkomi diartikan Dangke saja atau Barongko saja.

Selain diksi berakhiran –mi, dalam prosa ini juga temukan Kata-kata Indonesia yang diberi lagi akhiran –ma’ (contoh : sampaima’ , ka’ (contoh : teringatka), ki (contoh : dengarki, beratki), di’ (contoh : reunidi’ ?) dan lain sebagainya.

Pada dasarnya hal tersebut merupakan dialek saja, artinya kurang lebih sama dengan kata Indonesia didepannya dan hanya merupakan penegasan identitas secara tidak langsung dari orang yang mengomunikasikannya sebagai orang Makassar.

Akhirnya, saya ucapkan selamat kepada para penggagas, admin dan para peserta ‘Malam Prosa Kolaborasi’, semoga ke depannya ajang seperti ini tetap dilanjutkan, sebagai ajang pembuktian kecintaan menulis fiksi sekaligus memotivasi menulis lebih giat lagi. Salut dan salam buat semuanya. (*)

 

(* Sumber: Tulisan ini pernah penulis publish di media sosial blog Kompasiana, 12 Juni 2011.  Di Kompasiana ini sendiri, tulisan ini sudah tidak ditemukan.

 

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisment -

HIGHLIGHT